"Keterbatasan bukan menjadi halangan. tetapi lebih bagaimana mensiasati
keterbatasan tersebut," itulah kata Uji
Handoko Eko Saputro yang akrab disapa Hahan.
Seniman asal Jogjakarta yang tidak pernah berhenti berkarya. Hahan mengaku selalu ada kesulitan yang berbeda-beda setiap membuat karya. Apalagi Hahan selalu eksplor media yang digunakan. Yang membuat seniman ini luar biasa adalah, ia bersama seniman-seniman lain yang tergabung di Ace House Collective, membangun relasi dengan seniman daerah lain baik dalam maupun luar negeri serta berbagi apa yang mereka butuhkan melalui project kolaborasi. Belum lagi memikirkan tentang perjuangan seniman yang masih merintis. Yuk, kenal lebih dekat dengan seniman satu ini!
Seniman asal Jogjakarta yang tidak pernah berhenti berkarya. Hahan mengaku selalu ada kesulitan yang berbeda-beda setiap membuat karya. Apalagi Hahan selalu eksplor media yang digunakan. Yang membuat seniman ini luar biasa adalah, ia bersama seniman-seniman lain yang tergabung di Ace House Collective, membangun relasi dengan seniman daerah lain baik dalam maupun luar negeri serta berbagi apa yang mereka butuhkan melalui project kolaborasi. Belum lagi memikirkan tentang perjuangan seniman yang masih merintis. Yuk, kenal lebih dekat dengan seniman satu ini!
Media menyesuaikan kebutuhan ide
Jika kamu bertanya, media apa yang
Hahan gunakan dalam membuat karya-nya? Jawabannya adalah hampir semua! Langkah
awal memang ia menggambar sebagai ide pertama, lalu untuk realisasinya media
mengikuti apa yang dibutuhkan dan mendukung ide itu sendiri. Sebagai contoh,
jika ingin membuat suatu karya mengenai sistem pasar, berarti harus membuat
sesuatu yang performatif, sehingga orang awam pun bisa mengerti maksud dari
karya tersebut.
Bagi Hahan, ide adalah inti dari
karya-karyanya. Saat ditanya media apa yang jadi favorit, Hahan menjawab dengan
yakin "Bukan medianya tetapi lebih ke mendapatkan ide yang sangat konkret
& jelas". Nggak heran, sejak tahun 2000-an awal Hahan sudah
mengeksplor berbagai media, mulai dari canvas, woodcut,
painting, etching, sculpture, mural, graffiti, performance art sampai
musik.
Semua karya mempunyai
kesulitan masing-masing
Hahan yang selalu mencoba media yang
berbeda mengaku bahwa setiap membuat karya juga punya kesulitan masing-masing. Stress pasti
ada mulai dari ide, material, atau bagaimana mengomunikasikan ide menjadi suatu
objek. Hahan pun sharing bahwa salah satu yang paling sulit
adalah ide awal yang juga harus berhubungan tentang apa yang sudah dilakukan
sebelumnya. Karena harus ada satu tarikan yang membuat semua terhubung.
Meskipun ide bisa datang dari mana
saja, menurut Hahan, kamu juga harus tetap mencarinya dari referensi, sharing,
ataupun memperhatikan fenomena yang sedang terjadi, apa yang bergeser dan apa
yang berubah. Hal tersebut tidak hanya menjadi ide, tetapi juga jadi nilai yang
penting dalam karya. Karena bagi Hahan karya yang jujur adalah yang terbaik.
Sebuah karya merupakan kloning-an dari seniman itu sendiri. Makanya jika ada
kebohongan sama saja membohongi diri sendiri.
Karya Hahan yang selalu berkaitan
dengan fenomena yang terjadi pada lingkungan sekitar membawanya menjadi seperti
sekarang. Kilas balik sekitar tahun 2005, momen di mana pertama kali karyanya
dibeli oleh seorang ekspatriat. Dulu saat masih kuliah Hahan dipanggil oleh
salah satu ruang seni yang ditinggali oleh Agung Kurniawan, seorang seniman senior.
Bersama seniman muda lainnya, Hahan datang dengan membawa karyanya. Saat itu
karya para seniman muda tersebut dijejerkan di lantai untuk diperlihatkan.
Karya Hahan adalah salah satu yang terpilih. Uang hasil penjualan karyanya
tersebut dibelanjakan seperangkat alat menggambar berkualitas mulai dari kertas
yang bagus sampai tinta profesional artist yang hampir tidak
mungkin terbeli untuk anak kuliahan yang pas-pasan.
Menurutnya setiap orang memiliki
jalan yang berbeda, demi mendukung proses pembuatan karya-karyanya, Hahan rela
mengerjakan apa pun pada saat itu, dari menyebarkan poster, mural warung dan
masih banyak lainnya. Usaha Hahan pun nggak sia-sia, kini ia sudah bisa bekerja
bersama tim sendiri dan menggagas banyak proyek seni yang luar biasa.
Saat ini Hahan bersama rekannya, Adi
Kusuma, juga sedang menyiapkan project comission untuk
National Gallery Australia. Project yang sudah berjalan dari
tahun 2015 ini akan bercerita tentang awal mula harga sebuah karya seni itu
muncul. Untuk memvalidasi karyanya, Hahan juga memasukkan data setiap elemen
dalam seni rupa dengan cara interview kolektor, galeri ataupun
broker. Output karya seni ini akan menjadi sebuah diagram.
Dalam diagram tersebut juga tedapat tanda-tanda yang bisa diinisiasi sebagai
nilai dari suatu karya seni yang bisa dikonversi moneter menjadi harga. Hal ini
bertujuan untuk membangun branding seniman medioker, bagaimana
cara membuat opini pasar tentang karya seni dengan membuat standarisasi melalui
harga bagi rumah lelang atau pada saat lelang. Diagram ini juga sekaligus
menjadi kritikan halus dan acuan yang diolah menjadi sebuah statement baru.
Project "Arisan Tenggara"
Selain proyek pribadinya, sejak
pertengahan 2018, Hahan banyak disibukkan dengan proyek seni dari Ace House
Collective yang dinamakan "Arisan
Tenggara". Ace House Collective sendiri adalah
inisiasi 15 seniman muda asal Jogjakarta yang banyak bekerja di ranah budaya
populer untuk fokus pada informasi dan edukasi. Bersama lima collective Jogjakarta
lainya yakni Krack Studio, Ruang Mes 56, Lifepatch, Ruang Gulma, dan SURVIVE!
Garage, serta mengundang 6 collective dari luar Jogjakarta
yakni, Tanah Idie dari Makassar , Rekreatif dan Gembel Art Collective dari
Timor Leste, Rumah Api dari Malaysia, Tentacles dari Thailand dan Wasak dari
Filipina. Selama 2 bulan mereka bekerja dan tinggal bersama untuk 'membongkar
dapur' mulai dari ideologi, sampai ranah pendanaan. Tidak hanya berkumpul,
12 collective ini juga membuat 6 program berbeda. Nah,
meskipun dilaksanakan di Jogjakarta, keenam project tersebut masih berhubungan
dengan apa yang dibutuhkan untuk semua collective. Harapannya
project Arisan Tenggara ini akan berpindah dan berlanjut di tahun-tahun
berikutnya.
No comments:
Post a Comment