Mengenal Sosok Sang Maestro. Siapakah Gandrung Poniti?

Words book by Novi Anoegrajekti


Menulis Sejarah Diri dan Keluarga 

Poniti, terkenal sebagai primadona gandrung pada tahun 1968 sampai tahun 1980-an. Saat itu, ia memiliki rumah yang cukup bagus di Gemitri, Banyuwangi. Sebagai gandrung profesional ia terkenal pada masanya. Tanggapan mengalir setiap hari tanpa henti. Untuk beristirahat barang dua hari dia harus mengelabuhi penanggap dengan mengatakan bahwa tanggapan sudah penuh sampai satu bulan. Libur dua hari ia gunakan untuk beristirahat dan tinggal di rumah. Semenjak di bawah koordinasi Hasan Ali, Kesra Kabupaten Banyuwangi tahun 1970-an seni tradisi gandrung Banyuwangi telah mengikuti pertunjukan di berbagai tempat di Nusantara. Poniti pun mendapat kesempatan tersebut, bahkan ia pernah sampai ke Hongkong.

Menikah pertama dengan Bilal, seorang duda tahun 1967. Kisah asmaranya diawali saat Bilal menanggap Gandrung Poniti untuk memeriahkan pernikahan anaknya. Setelah menikah mereka tinggal serumah di Pandan. Selang beberapa tahun Bilal sakit dan akhirnya meninggal. Bilal meninggal dunia saat Poniti menerima tanggapan di Probolinggo. Saat itu ada orang yang memberitahu bahwa Bilal, suaminya meninggal. Oleh karena itu, Poniti pun pulang menuju rumah sakit Gembiritan di Genteng untuk mengurus jasad suaminya tersebut dan membawanya pulang. Sore sebelum meninggal ada yang menceritakan kalau Bilal mengalami kegelisahan dan kebingungan. Ia mencari Poniti mau meminta maaf, tetapi Poniti sudah berangkat ke Probolinggo.

Sepeninggal suaminya, Poniti memutuskan pulang ke Mangir dan bekerja sebagai gandrung terop atau gandrung profesional. Menikah kedua kalinya tahun 1974 dengan Bajuri dan kemudian tinggal di Gemitri. Bajuri, suaminya seorang pegawai dan pengurus perkebunan swasta di Kalitakir. Saat menikah dengan Poniti, Bajuri masih beristri.

Dengan Bajuri, Poniti telah dikaruniai anak, akan tetapi kemudian diambil kembali oleh Hyang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keduanya memutuskan untuk mengangkat anak dari adik laki-laki Poniti. Bayi perempuan yang lahir pada akhir tahun 1976 itu diasuh Poniti sejak lahir. Saat ini ia sudah menikah dan melahirkan tiga cucu laki-laki. Bersama suaminya
Bajuri Poniti menikmati masa jayanya sebagai penari gandrung profesional hingga tahun 1980-an.

Suaminya yang kedua, Bajuri meninggal tahun 1995. Selang beberapa waktu kemudian Poniti memutuskan untuk meninggalkan Gemitri dan tinggal di Tegalmojo, Kecamatan Gambiran, bersama anaknya. Sepeninggal suaminya kondisi ekonomi keluarga terus mengalami penurunan, sampai akhirnya moratmarit dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terasa sangat berat. Poniti terbelit banyak hutang, termasuk hutang yang bunga-berbunga. Sedikitdemi sedikit harta yang terkumpul selama menjadi gandrung dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rumah, sawah, sampai alat musik gandrung juga dijual, saat itu laku satu juta setengah (Rp 1.500.000,00). Pensiun tidak dapat diurus karena ketika menikah, Bajuri masih terikat perkawinan dengan istri pertama. Ketika Bajuri meninggal pensiun tidak dapat diperoleh karena namanya tidak tercantum dalam daftar gaji suaminya. Yang tercantum dalam daftar gaji suaminya adalah istri Bajuri yang pertama.

Saat ini Gandrung Poniti tinggal di Tegalmojo, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi. Rumahnya sederhana, berukuran kurang lebih 10 m2 (2,5x4m) berdinding bambu dan tripleks. Semua perabot berada dalam satu ruang, tanpa sekat. Televisi, radio, kursi plastik, ranjang, magic jar, kontener plastik, meja, dan aneka perabot rumah tangga lainnya. Sebagian perlengkapan dapur terselip di dinding bambu. Hal itu membangun sebuah estetika kesederhanaan yang alami. Hidup sehari-hari dijalani dengan mengurus dua petak sawah yang tersisa, sambil menunggu jika ada permintaan tanggapan sebagai sinden jaranan, kuntulan, janger, atau gandrung.

Tidak ada rahasia, semua berada dalam satu ruang. Lembaranlembaran dinding tripleks yang mulai mengelupas, bilahan-bilahan bambu yang teranyam menjadi dinding untuk menyelipkan beberapa perabotan rumah tangga. Tanpa kata-kata, semua sudah berbicara mengenai kondisi kehidupannya. Gandrung Poniti, sang primadona pada masanya, kini menjalani hidupnya dengan serba terbatas.

Perjuangan dan Kebertahanan sebagai Penari Gandrung 

Tegalmojo menjadi tempat pilihan Gandrung Poniti untuk menghabiskan sisa usianya. Ia mengader gandrung-gandrung muda angkatan Mbok Temu, Supinah, dan Mudaiyah. Ia telah mengalami masa keemasan sebagai gandrung profesional. Pada masa itu gandrung profesional berada di bawah juragan gandrung, sehingga pendapatannya ditentukan oleh juragan gandrung tersebut. Saat ini gandrung profesional memiliki kebebasan menentukan perjanjian kerja dengan penanggap secara langsung. Oleh karena itu, gandrung sekarang dapat lebih makmur hidupnya, serta menyisakan penghasilannya untuk ditabung atau untuk investasi.

Poniti telah mengalami masa kejayaan dan dinikmati bersama dengan para panjaknya. Demi kelangsungan hidup seni gandrung, Poniti mengader anak-anak muda menjadi Gandrung profesional. Usahanya pun tidak sia-sia. Beberapa generasi gandrung didikannya telah menjadi Gandrung profesional yang populer di masyarakat. Sekarang Poniti menjalani sisa hidupnya dengan setiap pagi pergi ke sawah, mengolah dua petak sawah yang tersisa, sambil menunggu jika ada permintaan tanggapan menjadi sinden Jaranan, Janger, Kuntulan, atau Gandrung.

Masa sulit tersebut dialami sejak suaminya, Bajuri meninggal tahun 1995. Saat itu Poniti sudah pensiun sebagai penari gandrung profesional karena usianya yang sudah tua. Akan tetapi suaranya masih sering diperlukan sebagai sinden jaranan, janger, kuntulan, dan gandrung. Meskipun pendapatannya kecil tetapi dapat membantu untuk menopang kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kehidupan ekonomi rumah tangga teratasi pada masa pemerintahan Bupati Samsul Hadi (2000
2005). Poniti banyak mendapat bantuan untuk mengatasi hutang-hutangnya. Poniti juga menjadi salah satu pelatih caloncalon gandrung profesional dalam program pelatihan gandrung yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang ditangani langsung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. Pelatihan diselenggarakan di Kemiren di sanggarnya Pak Urip. Dalam program tersebut Poniti mendapat peran sebagai pelatih vokal.

Setelah Pak Samsul turun dari jabatannya, Poniti kembali hidup susah dan terasa berat. Saat itu Poniti mendapat tawaran menjadi pelatih gandrung di Sintang, Kalimantan Barat. Sintang adalah salah salah satu daerah tujuan transmigrasi dari Jawa. Banyak orang Jawa yang tinggal di sana, termasuk orang Banyuwangi. Di daerah transmigrasi tersebut tidak terdapat hiburan dan kesenian. Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi yang tinggal di daerah transmigrasi tersebut berinisiatif membentuk kelompok seni gandrung. Untuk keperluan tersebut, mereka mendatangkan pelatih gandrung dari Banyuwangi. Saat itu, Poniti yang terpilih berangkat ke Sintang, Kalimantan Barat sebagai pelatih.

Kesempatan menjadi pelatih gandrung di Sintang, Kalimanan Barat ia terima dengan senang hati. Selama dua tahun (2007
2009) Poniti mondar-mandir Banyuwangi-Kalimantan. Setiap tiga bulan Poniti pulang ke Banyuwangi untuk menengok orang tua, anak, cucu, dan sanak saudaranya. Di Banyuwangi Poniti menyediakan keperluan hidup orang tuanya selama tiga bulan, seperti beras, gula, kopi, dan bahan makanan serta kebutuhan hidup lainnya. Poniti diharapkan menjadi pelatih gandrung, sampai para muridnya bisa menjadi gandrung yang mandiri. Untuk itu, Poniti mendapat honor tiga juta (Rp 3.000.000,00), angka yang cukup untuk dapat menghidupi diri dan orang tuanya yang tinggal di Banyuwangi. Transportasi Kalimantan-Banyuwangi yang diperlukan setiap tiga bulan ditanggung oleh panitia penyelenggara pelatihan di Kalimantan.

Akhir masa kerja di Kalimantan menjadi lembaran suram yang menyakitkan bila dikenang. Poniti melarikan diri dari Kalimantan karena mendapat kesulitan berupa ancaman dari masyarakat setempat. Kisahnya bermula dari adanya seorang laki-laki warga suku setempat yang berminat meminangnya sebagai istri. Laki-laki itu bernama Tanu (bukan nama sebenarnya), dia berkedudukan sebagai Kepala Pasar Pinuh. Poniti pun menanggapi panah asmara Tanu yang meskipun sudah tua, akan tetapi dia merasa dapat membahagiakannya. Setiap kali, Poniti juga menerima uang belanja dari Tanu. Demikian juga saat Poniti pulang, Tanu juga sering menitipkan bekal uang untuk diberikan kepada anak dan keluarga yang tinggal di Banyuwangi.

Akan tetapi, secara diam-diam ternyata ada laki-laki lain, yaitu Jono (bukan nama sebenarnya) yang juga memiliki keinginan mempersunting Poniti. Jono adalah laki-laki migran yang bekerja sebagai guru. Jono tidak menerima kenyataan bahwa Poniti menjalin relasi dan mau menerima Tanu sebagai suaminya. Jono dihinggapi rasa cemburu yang mendalam, karena sebenarnya Jono juga ingin memperistri Poniti. Pada saat itu Poniti memilih Tanu dan tidak merespons keinginan Jono karena ia sudah beristri.

Keadaan tersebut menjadi penyebab awal pelarian Poniti dari Kalimantan. Poniti bersyukur karena masih ada orang yang menolongnya, “Kalau tidak bernasib baik saya sudah meninggal dan tinggal nama,” ungkapnya. Pada saat itu Poniti dicari sekelompok orang setempat yang akan memotong lehernya. Saat itu Poniti tinggal di rumah kontrakan di belakang Hotel Doli dan tidak berani keluar karena dicari orang-orang yang akan memotong lehernya, “Mana gandrung Banyuwangi itu?” Poniti mendengar dari rumah kontrakan, “Mau tak potong lehernya, mau tak minum darahnya. Kurang ajar, main-main.” Melihat umat-Nya terancam, Allah mengulurkan pertolongan melalui seorang ibu. Tanpa diduga oleh Poniti, ada warga masyarakat setempat, istri seorang Haji yang memberikan bantuan kepadanya. Dengan statusnya tersebut, Poniti pun mendapatkan kelegaan dan percaya bahwa perempuan tersebut memang berniat mau menolongnya. Selanjutnya, Poniti disembunyikan di rumah keluarga transmigran. “

“Saya mau disembelih oleh orang setempat. Orang setempat juga yang malah menolong saya” ujarnya, “Allah sing sare.” Allah menyayangi umat-Nya dan tidak tidur meninggalkannya. Hingga tiga bulan lamanya, Poniti tidak berani keluar dari persembunyiannya. Barang-barangnya habis dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tinggal di rumah keluarga transmigran. Untuk bekal pulang Poniti menjual barang-barang miliknya yang masih tersisa. Poniti ditolong aparat dan bisa keluar menuju lokasi pemberangkatan. Demi keselamatannya, Poniti melakukan penyamaran dan berhasil keluar melalui pelabuhan tempat pemberangkatan, “Saya seperti orang gila. Mengenakan celana pendek, kaos sobek, agar tidak ketahuan.”

Poniti pulang lewat Semarang, menggunakan kapal Leuser yang cepat. “Saya takut. Lalu saya bersumpah tidak akan menyeberang lagi ke Kalimantan karena saya akan disembelih, penyebabnya masalah laki-laki tadi,” ujarnya. Bila ditelusur ke belakang, dalam perkara tersebut, sebenarnya Jono yang melakukan kesalahan besar. Jono secara diam-diam tiba-tiba menempeleng Tanu. Tanu didorong dan diancam dengan senjata tajam. Oleh karena itu, masyarakat setempat dan saudaranya (Tanu) tidak terima. Poniti menjadi sasaran kemarahan mereka dan diancam mau disembelih. Jono pun saat itu juga dibawa ke kantor polisi dan ikut urusan polisi.

Kalau tidak ada masalah, Poniti pasti menyelesaikan tugasnya sebagai pelatih gandrung di Kalimantan dengan baik dan tuntas. Ketika itu Poniti hidup nyaman, makan, dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Ia memiliki harapan dapat hidup di Kalimantan dengan nyaman pula. Sebagai pelatih gandrung, ia berharap, bila gandrung asuhannya sudah terampil menari, ia tinggal menjadi pramugari gandrung. “Di sana, uang banyak dan masyarakatnya merindukan adanya hiburan kesenian” ungkapnya. Namun harapannya kandas, Poniti tetap bersyukur masih dapat hidup dan pulang ke kampung halaman, Tegalmojo dengan selamat.


Primadona Gandrung dan Stereotipe Penari

Poniti salah satu perempuan yang menekuni seni tradisi gandrung. Keterampilan tari, vokal, dan pesona tubuhnya dijaga dan dibina secara mandiri. Profesionalitas dicapai melalui perjuangan, kerja keras, dan kesetiaan. Ia tidak terima bila kesenian gandrung dikatakan jelek dan maksiat. Masyarakat umum, saudara, tetangga, dan sahabat-sahabatnya semua tahu bahwa Poniti adalah penari gandrung profesional. Poniti tidak berpura-pura, bersembunyi, dan berbasa-basi. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membenci atau tidak menyenanginya.

Dalam kehidupan beragama, dikatakan oleh Poniti, “Bila tiba waktu shalat, kalau mau shalat, semua gandrung ya shalat, tidak ada masalah.” Dalam pandangan Poniti, gandrung adalah seni yang menghibur, meskipun semula sebagai media komunikasi antarpejuang Using. Poniti telah membuktikan kecintaannya pada seni tradisi dengan bertekun hidup dan membina diri sampai menjadi gandrung profesional yang populer. Tidak ada yang membina, tetapi dibina sendiri. Poniti tidak ada yang mengurus, tetapi mengurus diri sendiri. Dengan prestasi-prestasinya, Pemerintah Kebupaten Banyuwangi telah menerima buah perjuangannya. Poniti beberapa kali menjadi duta budaya mewakili Banyuwangi dalam aneka festival sehingga Pemerintah Kabupaten mendapat piagam penghargaan dari beberapa lembaga. Namun ia tidak memiliki catatan dan dokumentasi. Semua yang telah dialami dan menjadi kenangan masa lalu. Sementara itu hidupnya saat ini masih menjadi perjuangan, meski hanya untuk bertahan hidup.

Gandrung Poniti terkenal pada masanya dan telah melewati masa jaya sebagai primadona. Saat ini Poniti menjalani sisa hidupnya dalam keadaan serba terbatas. Poniti kadang merasa dirinya hidup sengsara dan terluntalunta. Semuanya berlangsung sekilas dan tidak ada yang abadi. Semua tidak ada yang tertutup, semua tahu rumah, fasilitas hidup, dan pekerjaannya, semua tahu kesulitan hidupnya, semuanya dihadapi dan ditanggunggnya sendiri, sebagaimana ketika berjuang mewujudkan cita-cita menjadi gandrung profesional. Semuanya diurus sendiri, sampai sekarang, bila ada yang memerlukan suara atau informasinya, ia pun dijemput atau didatangi. Poniti menerima semuanya dengan ikhlas.

Berkaitan dengan dinamika seni tradisi gandrung, khususnya ihwal modifikasi pakaian gandrung agar tidak memperlihatkan aurat, Poniti menyampaikan pandangannya bahwa pada mulanya gandrung itu bukan perempuan, tetapi laki-laki. Secara historis gandrung dulu sebagai media komunikasi antarpejuang dalam melawan penjajah. Selanjutnya, gandrung sebagai bagian dari upacara untuk mengawali orang memetik padi dan ditampilkan bersama dengan barong. Di Banyuwangi yang mengawali profesi gandrung perempuan adalah gandrung Semi
eyang buyutnya gandrung Dartik dari Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Akan tetapi, sekarang gandrung menjadi seni pergaulan dan hiburan. Meskipun demikian, dalam hal pakaian menurut Poniti, pakaian gandrung sudah rapat dan ketat, sabuknya juga keras, oleh karena itu, gandrung tubuhnya langsing-langsing.
Saat ini, Poniti menghidupi masa pensiun sebagai gandrung dan masih mau menerima tanggapan sebagai sinden janger, jaranan, gandrung, atau kuntulan. Semua itu dijalaninya agar dalam menghidupi sisa usianya, tetap dapat makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Saat ini yang penting bagi Poniti adalah bagaimana bisa mendapat uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Itulah masa tua kehidupan gandrung Poniti, gandrung yang pernah populer dan menjadi primadona di Banyuwangi.

Pada masa jayanya sebagai primadona, Poniti sering melantunkan tembang-tembang yang poluler saat itu, antara lain: tembang wajib pembuka “Podho Nonton” dan penutup “Seblang-seblang”, “Onde-onde”, “Nyulayani Janji”, “Ancur Lebur”, “Kutut Manggung”, dan “Jamuran”. Untuk membuktikan kepiawaiannya dalam berolah vokal, pada akhir pertemuan dengan peneliti, Poniti mengidungkan sebuah tembang gandrung dengan cengkok, nada, irama, dan tekanan yang masih sempurna.

Poniti telah menghidupi masa kejayaan dalam kilasan-kilasan waktu dan makna. Saat ini ia menghidupi masa pensiun dengan penuh perjuangan dan keprihatinan. Semua sudah terjadi dan tidak mungkin diulang. Kepada yang muda ia berpesan, “Manfaatkan peluang baik.” Poniti menyampaikan pesan ringkas berbias. Masa jaya sebagai primadona memang hanya berlangsung sekilas. Masa produktif yang hanya “sekilas” perlu dimanfaatkan untuk menyongsong masa pensiun yang durasinya bisa lebih panjang dengan nyaman. Poniti bangga dengan para gandrung muda yang memiliki keterampilan berusaha. Supinah dengan melakukan deversifikasi usaha, Wulan dengan mengembangkan usaha kacang untai, Wiwik dengan membuka salon kecantikan, Ice dengan membuat pakaian gandrung, Mia dengan menabung, dan masih banyak lagi yang dilakukan oleh para gandrung muda untuk menyongsong masa pensiun agar tetap hidup nyaman.
Poniti dan Proteksi Birokrasi

Bupati Samsul Hadi, pada tahun 2002 menempatkan gandrung sebagai maskot pariwisata Banyuwangi2 dan pada tahun 2003 juga menempatkan tari jejer gandrung sebagai tari selamat datang di Kabupaten Banyuwangi.3 Hal tersebut diikuti kebijakan yang berkaitan dengan upaya pewarisan, pelestarian, dan pengembangan seni tradisi gandrung. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membuat kebijakan mengadakan pelatihan gandrung profesional. Penanganan pelatihan diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Hal itu memberi peluang Poniti untuk ikut ambil bagian dalam pelatihan. Poniti termasuk salah satu gandrung senior yang ditunjuk sebagai pelatih calon-calon gandrung profesional tersebut.

Gandrung senior lainnya yang juga dilibatkan sebagai pelatih adalah Mbok Temu, Dartik, Supinah, dan Mudaiyah. Poniti memberi pelatihan vokal, sedangkan yang lain menjadi pemateri dalam bidang tari. Keluhan gandrung Poniti ketika itu didengarkan dan direspons oleh Bupati Banyuwangi Samsul Hadi. Selain sebagai fasilitator pelatihan, Poniti dan gandrung lainnya mendapat perhatian maksimal dari Bupati. Setiap kali ada acara di Kabupaten mereka senantiasa diundang dan ketika pulang diberi uang saku. Hal tersebut memberikan rasa nyaman dan rasa terlindung karena ada yang mengayomi. Poniti juga mendapat bantuan langsung untuk melunasi hutang-hutangnya.

“Waktu itu saya diberi uang untuk membayar bunga hutang. Setiap kali diundang di Kabupaten diberi rokok, uang tiga ratus ribu, kan sudah banyak,” kata Poniti bangga.

“Kalau tidak ada Pak Samsul tidak tahu apa jadinya saat ini. Saya mengatakan kepada Pak Samsul, Pak, saya ini diberi pekerjaan. Dulu saya sudah susah payah berjuang. Disuruh menyapu pun saya mau, asal saya dapat membayar hutang dan makan.”
Keluhan Poniti tersebut disampaikan kepada Bupati Samsul Hadi dan direspons dengan melibatkannya setiap kali ada acara di pandapa Kabupaten. Demikian juga setiap kali ada penyelenggaraan pelatihan gandrung, Poniti senantiasa dipanggil dan dilibatkan sebagai pelatih.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Bupati Ratna, pada saat pelantikan, Poniti dipanggil bersama para pekerja seni lainnya. Saat itu Poniti mendapat uang saku satu setengah juta (Rp1.500.000,00). Sesudah itu tidak pernah lagi dilibatkan dalam pelatihan gandrung berikutnya. Juga ketika digelar festival Gandrung Sewu ‘seribu gandrung’ pada tahun 2012, festival “Gandrung Paju” pada tahun 2013, festival gandrung pada tahun 2014, juga pada festival tahun 2015. Memasuki masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas, Poniti tidak pernah mendapat peluang untuk ambil bagian dalam berbagai kegiatan budaya yang diagendakan dalam Banyuwangi Festival. Akan tetapi pada penyelenggaraan Festival Gandrung Sewu (2015) Poniti bersama Kusniah menerima penghargaan dari Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas atas dedikasinya sebagai pelestari seni tradisi gandrung.

Poniti dan Kekuatan Mantra

Gandrung profesional dituntut memiliki kompetensi vokal dan tari. Kedua kompetensi tersebut menjadi materi pelatihan dengan bobot yang besar. Selain itu, gandrung juga harus memiliki kekuatan dan performansi fisik yang kuat dan berdaya pesona. Secara historis ada kaidah yang harus diikuti dalam pertunjukan gandrung, yaitu diawali lagu “Podho Nonton” dan diakhiri “Seblang-seblang”. Saat ini beberapa gandrung cenderung meninggalkan keduanya. Ada pula beberapa gandrung muda yang cenderung kompromis, mengikuti kehendak penanggap. Alasan meninggalkan dua tembang tersebut karena penontonnya banyak, khawatir sampai subuh belum selesai sehingga selesainya kesiangan. Berbeda dengan gandrung senior, mereka cenderung mempertahankan kedua tembang pembuka dan penutup tersebut. Gejala tersebut menunjukkan adanya ketegangan antara gandrung senior dengan yunior yang sama-sama profesional.

Relasi dengan alim ulama dan pemuka agama, dirasakan Poniti tidak ada masalah. Poniti sebagai gandrung tetap berhubungan baik dengan orang tua, sanak-saudara, tetangga, penguasa, dan pemuka agama, termasuk kiai. Selanjutnya ia mengungkapkan relasinya dengan pemuka agama yang menyatakan bahwa memasuki bidang seni, termasuk gandrung tidak ada masalah. Hal itu dikatakan oleh Kiai Munawir yang menempatkan gandrung sebagai profesi seperti profesi dan pekerjaan yang lainnya. Disampaikan juga bahwa memasuki dunia kesenian tidak hina. Yang hina adalah kalau orang memiliki rasa benci, iri, dan dengki. Seni, termasuk gandrung tidak hina. Mereka dihormati, dikagumi karena usahanya sendiri dan tidak karena mendapat kemudahan dari orang lain. Suara yang bagus dan gerak tari yang indah mereka bina dan kembangkan sendiri tanpa mengganggu orang lain.

Mengakhiri pertemuan dengan Poniti, disampaikannya bahwa menjelang pertunjukan, Poniti biasanya merapalkan mantra agar dapat pentas dengan lancar, maksimal, menghibur, dan memesona pemirsanya. Mantra yang dirapalkan adalah sebagai berikut.

Bismilah hirahmanirahim,
Asmarawulan ben aku Nabi Yusuf,
Suwaraku Nabi Dawud,
Wong sing rungu padha mangu,
Wong sing ndeleng padha lengleng,
Wong sobo wono podho teka,
Welas, teka asih, Jabang bayine wong sakjagad,
Asiho marang isun Poniti Ya Allah, 7x


Terjemahan bebas mantra di atas adalah sebagai be
rikut.

‘Bismilah hirahmanirahim,
Asmara bulan biar saya Nabi Yusuf,
Suara saya Nabi Dawud,
Orang yang mendengar semua terlena,
Orang yang melihat semua terpesona,
Orang yang bekerja di ladang semua datang,
Belas, datang kasih, Bayi merahnya orang sedunia,
Berbelas kasihlah kepada saya Poniti, Ya Allah, 7x’

Setelah pengucapan mantra selesai kaki menjejak bumi sampai tujuh kali. Hanya itu yang biasa dilakukan oleh Poniti menjelang pertunjukan. Dia bersyukur pada setiap pertunjukan selama ini tidak pernah mendapat gangguan dan tidak pernah mengecewakan penonton dan penanggap.


Related Posts

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad